Mengenal Perintis Konsep Pertanian Organis di Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hamparan hijau nan cantik di kawasan Desa Tugu Selatan, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, akan membuat siapa pun yang melihatnya berdecak kagum. Ya, kawasan yang merupakan lahan pertanian organis itu tak hanya sedap dipandang mata, tapi juga memberikan penghidupan kepada para petani.
Adalah mendiang Pastor Agatho Elsener OFMCap, seorang imam misionaris Indonesia, yang merintis pembuatan lahan pertanian tersebut sejak puluhan tahun lalu. Pemuka agama asal Swiss yang sudah berganti kewarganegaraan menjadi WNI itu merupakan sosok yang pertama kali memperkenalkan konsep pertanian organis di Tanah Air. Lahan kelolaannya kemudian diberi nama Agatho Organic Farm.
Pastor Agatho mulai mengembangkan pertanian organis ketika bertugas di Sanggau, Kalimantan Barat, pada 1960. Kala itu, keluhan petani adalah sulit menghalau serangan hama sehingga menyebabkan gagal panen dan juga penggunaan pengendali nabati atau disebut pestisida yang berdampak terhadap kesehatan petani.
Ternyata, pengendali nabati juga berefek buruk bagi lingkungan sekitar. Alhasil, ketika mendirikan Agatho Organic Farm, Pastor Agatho juga konsisten menerapkan pertanian organis di Cisarua, Bogor, pada 1984.
Menurut Ketua Yayasan Bina Sarana Bakti Wahyudi Susanto, Pastor Agatho mendirikan Pusat Pengembangan Organis dengan nama Yayasan Bina Sarana Bakti untuk memperkenalkan pertanian organis.
“Organis yang dimaksud adalah alat kerja, yang berasal dari bahasa Yunani, yakni organon. Kata dasarnya, Ergon, artinya pekerjaan. Sehingga dapat diartikan organis adalah alat kerja yang bekerja untuk organisme agar tercapai harmonisasi antara alam dan manusia,” terang Wahyudi.
Kepala Produksi Agatho Organic Farm Eji Suradji menambahkan, Pastor Agatho mempelajari pertanian organis secara khusus di Swiss.
“Pastor Agatho juga terinspirasi oleh tulisan dalam buku The One-Straw Revolution atau diterjemahkan dalam bahasa Indonesianya adalah Revolusi Sebatang Jerami karya Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian organis di Jepang. Disebutkan bahwa pertanian itu bukan teknik bertani saja, namun sikap yang menghargai alam dan seisinya. Misalnya tidak menggunakan pengendali nabati, namun menggunakan pupuk dari sumber alam seperti pupuk kandang dari kotoran ayam,” beber Eji.
Luas lahan Agatho Organic Farm mencapai 13,8 hektar yang meliputi tanah dan bangunan. Sementara petani yang mengelola lahan pertanian ini berjumlah 68 orang, yang terdiri dari 38 orang karyawan dan 30 petani plasma.
"Istilah petani plasma ini, para petani yang khusus direkrut di luar karyawan. Biasanya mereka pernah bekerja di Agatho Organic Farm. Para petani ini bertugas mengelola plasma, menanam, merawat dan panen setiap Senin dan Kamis,” ungkap Bendahara Yayasan Bina Sarana Bakti Christiana Citra Nariswari.
Adalah mendiang Pastor Agatho Elsener OFMCap, seorang imam misionaris Indonesia, yang merintis pembuatan lahan pertanian tersebut sejak puluhan tahun lalu. Pemuka agama asal Swiss yang sudah berganti kewarganegaraan menjadi WNI itu merupakan sosok yang pertama kali memperkenalkan konsep pertanian organis di Tanah Air. Lahan kelolaannya kemudian diberi nama Agatho Organic Farm.
Pastor Agatho mulai mengembangkan pertanian organis ketika bertugas di Sanggau, Kalimantan Barat, pada 1960. Kala itu, keluhan petani adalah sulit menghalau serangan hama sehingga menyebabkan gagal panen dan juga penggunaan pengendali nabati atau disebut pestisida yang berdampak terhadap kesehatan petani.
Ternyata, pengendali nabati juga berefek buruk bagi lingkungan sekitar. Alhasil, ketika mendirikan Agatho Organic Farm, Pastor Agatho juga konsisten menerapkan pertanian organis di Cisarua, Bogor, pada 1984.
Menurut Ketua Yayasan Bina Sarana Bakti Wahyudi Susanto, Pastor Agatho mendirikan Pusat Pengembangan Organis dengan nama Yayasan Bina Sarana Bakti untuk memperkenalkan pertanian organis.
“Organis yang dimaksud adalah alat kerja, yang berasal dari bahasa Yunani, yakni organon. Kata dasarnya, Ergon, artinya pekerjaan. Sehingga dapat diartikan organis adalah alat kerja yang bekerja untuk organisme agar tercapai harmonisasi antara alam dan manusia,” terang Wahyudi.
Kepala Produksi Agatho Organic Farm Eji Suradji menambahkan, Pastor Agatho mempelajari pertanian organis secara khusus di Swiss.
“Pastor Agatho juga terinspirasi oleh tulisan dalam buku The One-Straw Revolution atau diterjemahkan dalam bahasa Indonesianya adalah Revolusi Sebatang Jerami karya Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian organis di Jepang. Disebutkan bahwa pertanian itu bukan teknik bertani saja, namun sikap yang menghargai alam dan seisinya. Misalnya tidak menggunakan pengendali nabati, namun menggunakan pupuk dari sumber alam seperti pupuk kandang dari kotoran ayam,” beber Eji.
Luas lahan Agatho Organic Farm mencapai 13,8 hektar yang meliputi tanah dan bangunan. Sementara petani yang mengelola lahan pertanian ini berjumlah 68 orang, yang terdiri dari 38 orang karyawan dan 30 petani plasma.
"Istilah petani plasma ini, para petani yang khusus direkrut di luar karyawan. Biasanya mereka pernah bekerja di Agatho Organic Farm. Para petani ini bertugas mengelola plasma, menanam, merawat dan panen setiap Senin dan Kamis,” ungkap Bendahara Yayasan Bina Sarana Bakti Christiana Citra Nariswari.